WahanaNews-Sidikalang | Dairi Diancam Tambang, film bergenre dokumenter, diproduksi lembaga Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) dan Bakumsu, bekerjasama dengan salah satu media internasional.
Tonggo Simangunsong adalah sutradara sekaligus editor film yang dirilis tahun 2022 ini. Kameramen dipercayakan pada Yudha Pohan.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
Beberapa pemeran dalam film diantaranya Korlina Simarmata, Menteria Situngkir, Regina Aritonang, Dosma Hasugian, Sahman Sinaga.
Kemudian, Serly Siahaan, Wilson Nainggolan, Tongam Panggabean, Rohani Manalu, Steve Emerman, Richard Meehan dan Nia Sihaloho.
Rohani Manalu, Koordinator Advokasi YDPK dalam keterangan pers tertulis diterima WahanaNews.co, Senin (1/8/2022) mengatakan, film ini merupakan film kedua yang diproduksi YDPK tahun 2022.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Pemilihan judul "Dairi Diancam Tambang", diartikan sebagai keterancaman Kabupaten Dairi akan kehadiran suatu perusahaan tambang bawah tanah, milik NFC China sebanyak 51 persen dan milik Aburizal Bakrie sebanyak 49 persen.
Proyek perusahaan yang akan menambang timah hitam dan seng itu, berawal tahun 1998, saat PT. Dairi Prima Mineral (PT DPM) mendapat izin menambang dari pemerintah Indonesia untuk mengeksplorasi logam, timah dan seng.
Wilayah seluas 27.420 hektar, melalui skema Kontrak Karya (KK) generasi ke VII yang ditandatangani Presiden Soeharto dengan Nomor KW. 99 PK 0071 tahun 1998.
Namun tahun 2017, terjadi penciutan wilayah konsesi menyesuaikan dengan UU Minerba No 4 tahun 2019 dan diubah menjadi UU Minerba No 3 tahun 2020 menjadi 24.636 hektar.
Adapun dalam film "Dairi Diancam Tambang" tersebut, Desa Bongkaras dan Longkotan, menjadi fokus pengambilan dokumenter.
Desa Bongkaras merupakan desa yang berada di ring 1 dan masuk arel tambang PT DPM dan sudah pernah mengalami dampak dari kehadiran tambang saat eksplorasi, yaitu kebocoran limbah di gunung Sikalombun, yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian dan jalur sungai sebagai sumber irigasi warga.
Desa Longkotan merupakan tempat dimana PT DPM akan melakukan aktivitas penambangan. Desa ini berada di bagian hulu desa, terdiri dari 8 dusun.
Menurut ahli, Steve Emerman dan Richard Meehan, lokasi bendungan limbah di Desa Longkotan Dusun Sopokomil, tidak stabil karena terbuat dari abu vulkanik dan berada di patahan gempa sehingga berpotensi jebol dan berdampak ke desa-desa dihilir. Karena itu, tidak layak untuk keselamatan warga dan tambang bawah tanah.
"Dairi Diancam Tambang" dibuka dengan memperlihatkan statement masyarakat yang mengatakan bahwa mereka hidup dari pertanian seperti jeruk purut, durian, manggis, gambir.
Mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana, dari hasil pertanian, bukan dari pertambangan.
Cuplikan berikutnya memperlihatkan bagaimana kekhawatiran mereka terhadap kehadiran PT. DPM yang mengancam ruang hidup dan ruang pangan mereka.
Apalagi tahun 2012, sudah pernah terjadi kebocoran limbah pemboran di Desa Bongkaras. Tahun 2018 pernah juga terjadi banjir bandang di desa itu, yang membuat mereka menjadi kahawatir apabila kejadian tersebut terulang kembali.
Kekhawatiran yang sama juga dialami oleh salah satu warga dari Desa Longkotan, yang mana aktivitas pertambangan sangat dekat dengan pemukiman dan perladangan mereka.
Aktivitas yang dimaksud adalah pembangunan bendungan limbah yang hanya berjarak 20 meter dari rumahnya sehingga mengakibatkan kebisingan, rumah retak-retak.
Itimidasi dari pihak perusahaan, kepolisian dan pemerintah lokal, jalan menuju ke ladang jadi terganggu, konflik horizontal, juga dirasakan karena kehadiran perusahaan tersebut.
Selain pembangunan bendungan limbah, pembangunan gudang bahan peledak dan pembangunan mulut terowongan juga mengancam ruang hidup dan keselamatan warga.
Gudang bahan peledak dibangun dekat dengan pemukiman yang hanya berjarak 50, 64 meter, juga dekat dengan perladangan warga.
Mulut portal atau mulut terowongan, juga sudah dibangun dan dekat dengan sumber air bersih yang di kelola PDAM Tirta Nchiho.
Sumber air itu dikhawatirkan terancam. Padahal, air itu menghidupi 7 desa dan 1 kelurahan, atau sekitar 6 ribu jiwa.
Dalam film ini juga memperlihatkan berbagai statement dari beberapa lembaga yang mendampingi masyarakat dan 2 orang ahli yang mengatakan bahwa kehadiran perusahaan tambang dinilai tidak layak dan tidak memenuhi standart keselamatan lingkungan dan manusia.
Diungkapkan juga banyak kejanggalan atau temuan yang tidak sesuai di lapangan. Hingga saat ini, perusahaan itu belum mendapatkan ijin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, melakukan aktivitas dan kegiatan pembangunan infrastruktur. Tentu hal ini adalah illegal.
Disamping itu, kehadiran tambang PT DPM dinilai tidak layak karena tidak memperhatikan bahwa Dairi berada diatas patahan gempa dengan resiko tertinggi di dunia.
Pada intinya, film "Dairi Diancam Tambang" yang berdurasi 22 menit 17 detik itu mengangkat berbagai kekhawatiran masyarakat atas keselamatan ruang hidup mereka karena kehadiran perusahaan tambang PT DPM. [gbe]