WahanaNews-Sidikalang | Bersamaan dengan unjukrasa di Kantor Bupati Dairi, warga yang menolak kehadiran tambang PT DPM, juga berunjukrasa di Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan, Sumatera Utara, Rabu (24/8/2022).
Keterangan pers disampaikan salah seorang peserta, Sherly Siahaan, mengatakan, dalam aksi itu mereka menyampaikan beberapa hal yang melatarbelakangi penolakan kehadiran PT Dairi Prima Mineral (DPM).
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Dikatakan, investigasi pengawas internal bank dunia, memperingatkan bahwa tambang PT DPM, akan mengancam masyarakat lokal dan adat serta lingkungan.
Peringatan itu disampaikan dalam laporan CAO yang baru-baru ini dirilis dalam situs resmi www.cao-ombudsman-org.
Disebut, tambang yang direncanakan PT DPM memiliki risiko yang tinggi karena beberapa faktor. Salah satunya, terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tidak sesuai dengan standar internasional.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Hal yang sama juga dikatakan 2 ahli internasional yaitu Steve Emerman, ahli hidrologi dan Richard Meehan ahli bendungan.
Menurut mereka, rencana pertambangan yang diusulkan tidaklah tepat, karena lokasi tambang berada di hulu desa, di atas tanah yang tidak stabi dan di lokasi gempa tertinggi di dunia.
Dua jam lebih warga Dairi melakukan aksi di depan kantor Konsulat Jenderal itu, tidak satu pun perwakilan yang menerima aksi. Alasan, tidak ada konjen maupun staf berada di tempat.
"Kami kecewa dengan sikap konjen yang tidak menerima perwakilan warga Dairi," kata Situmorang, salah satu peserta aksi.
Diketahui, sebagai pemilik mayoritas PT DPM, perusahaan negara Tiongkok, Foreign Engineering and Construction (NFC), terlibat jauh dalam manajemen dan operasi DPM.
Terkait hal itu, CAO juga menyampaikan dalam laporannya. CAO menyimpulkan bahwa NFC memiliki kontrol aktif terhadap DPM dan secara khusus bertanggung jawab atas pembangunan tambang.
Keberadaan fasilitas pertambangan, pembangunan bendungan limbah seluas 24 ha yang berada di hulu desa menjadi seperti bom waktu yakni bencana besar akan datang.
“Kami tidak ingin ada tambang di daerah kami, selama ini kami hidup dari hasil pertanian. Dan kami sudah tahu apa yang menjadi risiko kalau tambang ini dibangun di daerah kami,“ ujar Situmorang.
Dalam aksi itu, perwakilan masyarakat memberi sebagian hasil pertaniannya kepada Konsulat Jenderal dimaksud.
Secara simbolik, pemberian hasil pertanian itu menunjukkan bahwa hidup sebagai petani akan jauh lebih baik ketimbang kehadiran tambang. Sebab dari generasi ke generasi, mereka telah hidup di wilayah pertanian. [gbe]