SIDIKALANG.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Pohon enau bukan lagi tanaman langka di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Tanaman ini tumbuh hampir di setiap desa.
Bahkan terkhusus di Lae Pinang, Desa Bintang, Kecamatan Sidikalang, tanaman dimaksud mendominasi, sehingga menjadi mata pencaharian mayoritas warga.
Baca Juga:
KPK Bongkar Eks Dirjen Kemnaker Pernah Minta Mobil dari Agen TKA, Toyota Inova Disita
Pantauan WahanaNews.co di berbagai desa, pohon enau tumbuhnya tidak secara teratur, atau sengaja dibudidayakan. Jikapun ada diantara masyarakat yang sengaja membudidayakannya, dapat dihitung dengan jari.
Pohon enau, tidak salah jika disebut pohon serbaguna. Pasalnya, hampir semua bagian pohon ini dapat dipergunakan.
Mulai dari batangnya, membuat bangunan. Kemudian ijuknya dipergunakan membuat sapu. Lidinya sering dipergunakan masyarakat untuk sapu halaman rumah.
Baca Juga:
Andi Surya Tegaskan Aklamasi Agus Suparmanto Cacat Prosedur dan Tidak Sah
Kemudian, pohon ini setelah berbuah setengah matang diolah melalui proses menjadi berkuah, disebut tuak.
Pantauan di beberapa daerah seperti di daerah Titi Kuning, Kutacane, kuah tuak ini diolah menjadi gula merah dan menjadi penghasilan utama.
Jika di Dairi, kuah nira yang disebut tuak, hanya menjadi santapan paling populer disebut minum tuak, terutama kaum bapak.
Salah seorang pengolah tuak (paragat dalam bahasa daerah) yang mengaku marga Sianturi, mengatakan, beberapa diantara masyarakat dapat menyekolahkan anaknya hingga ke Perguruan Tinggi (PT), hanya mengusahai minuman tuak.
Dalam satu batang pohon enau, dapat menghasilkan tuak 30 gelas (3 tumba). Harga pertumba Rp20 ribu. Jika ada diusahai sampai 3 batang, berarti dapat menghasilkan Rp180 ribu dalam satu hari.
"Mengusahai pohon ini untuk menjadi minuman tuak sangat gampang. Hanya pagi hari mengiris, kemudian sore harinya menurunkan kuahnya dari pohon," katanya.
[Redaktur: Robert Panggabean]