SIDIKALANG.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Aliansi Petani Untuk Keadilan (APUK) memperingati hari Perempuan Internasional yang biasanya jatuh pada tanggal 8 Maret.
Keterangan pers diterima WahanaNews.co melalui Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Rohani Manalu, terkait peringatan itu, APUK menyelenggarakan kegiatan talkshow "Peran perempuan dalam keberlanjutan Sumber Daya Alam (SDA)" dan pameran produk lokal SDA.
Baca Juga:
Gagal Diselundupkan, Bakamla Lepas 60 Ribu Bibit Lobster di Kepulauan Seribu
Kegiatan digelar di lapangan Parongil, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Selasa (11/3/2025).
Ratusan masyarakat menghadiri kegiatan itu dari berbagai desa di 5 kecamatan, meliputi Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu Hilir, Lae Parira, Tanah Pinem di Kabupaten Dairi dan Kecamatan Sitali Telu Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat.
Kemeriahan kegiatan juga di lengkapi dengan berbagai produk-produk lokal baik makanan, kerajinan tangan dan obat-obatan dari hasil alam yang diolah. Perempuan memiliki cara tersendiri untuk menghubungkan dirinya dengan alam dan merawat alam.
Baca Juga:
Mr Chen dan Karyawan PT DPM di Dairi Berbagi Paket Buka Puasa
Dalam talkshow ada beberapa pembahasan penting yang disoroti terkait ekofeminisme, perempuan menjadi kunci memegang ketahanan pangan dan sharing perjuangan perempuan melawan korporasi yang merusak lingkungan.
Perempuan memiliki peran yang vital dalam pengelolaan sumber daya alam di desa. Mereka adalah awal perubahan yang memegang kunci untuk pembangunan berkelanjutan.
Melalui partisipasi aktif perempuan dalam pengambilan keputusan dan pelibatan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam, kita dapat mencapai keseimbangan yang harmonis antara perekonomian, lingkungan, dan sosial.
Perempuan di desa memiliki pengetahuan lokal yang kaya mengenai sumber daya alam di sekitar mereka.
Mereka adalah penjaga lingkungan dan pengetahuan tradisional mereka tentang keanekaragaman hayati dapat berkontribusi pada pemeliharaan dan perlindungan lingkungan.
Namun, terdapat hambatan sosial, budaya, dan ekonomi yang membatasi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
Salah satu tantangan terbesar adalah akses terbatas perempuan terhadap sumber daya alam, termasuk tanah.
Disisi lain, perempuan dan lingkungan acap sekali dianggap sebagai property sebagaimana yang sering diberlakukan oleh sistem yang menganut patriarki.
Akibat dari sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, posisi perempuan cenderung ditempatkan diposisi hanya untuk rumah tangga namun tanpa disadari mereka adalah bagian dari pelopor ketahanan pangan bagi keluarganya.
Oleh sebab itu ketika kerusakan lingkungan terjadi, tentu saja perempuanlah yang paling banyak merasakan dampaknya.
"Kecenderungan eksploitasi yang berakar dari sistem patriarki membuat lingkungan semakin rusak akibat dari konflik agraria membuat produksi pertanian berkurang, sumber mata air rusak, identitas budaya hilang dan kualitas kesehatan keluarga memburuk, sehingga pentingnya membangun hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam, dengan tegasnya manusia tidak berada diluar alam melainkan merupakan bagian integral dari ekosistem yang kompleks," kata Mareta Sari, salah satu narasumber dari Jatam Kaltim dalam talkshow.
Rumenti Pasaribu perwakilan masyarakat dari Toba yang juga salah satu narasumber, berbicara dari korban dampak kerusakan lingkungan menegaskan bahwa mereka terusir dari tanah opung mereka yang sudah lama diusahakan.
Dari ribuan hektar tanah yang mereka miliki, negara hanya memberikan 68 hektar yang menjadi hak milik mereka.
Namun karena perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah sebagai identitas dan kehidupan mereka, dengan perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, intimidasi, akhirnya mereka mendapatkan 200 hektar untuk hak mereka.
Rumenti juga menyampaikan dalam proses perjuangan ini, pemerintah sendiri tidak ada melindungi rakyatnya ketika menghadapi intimidasi dan tidak hadir melindungi rakyatnya ketika mereka mempertahanan ruang hidup dan ruang produksi mereka.
Monica Siregar, koordinator kegiatan menegaskan perempuan mengambil peran aktif dalam konflik agraria tidak hanya untuk melawan perusahaan perusak lingkungan, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang mempromosikan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, untuk itu perlunya memberikan akses bagi perempuan untuk mengeolah SDA secara adil dan tanpa ada label merendahkan perempuan.
Dalam talkshow ini juga Monica Siregar menegaskan bahwa perempuan menjadi aktor utama dalam ketahanan pangan, yang mana pemerintah juga harus serius dalam peningkat sumber daya alam yang ada bukan dengan cara membuat alih fungsi lahan dari pertanian ke pertambangan, industri dan bukan hanya melihat kepentingan bagi sepihak sektor yang mengatasnamakan pembangunan.
Untuk itu gerakan masyarakat berinisiatif membuat sebuah kajian atau Policy brief terkait perlindungan sumber daya alam dalam meningkatkan ketahanan pangan di Kabupaten Dairi.
Pengurus APUK diakhir kegiatan menyampaikan, upaya untuk menyebarluaskan misi lingkungan hidup terjadi justru melalui gerakan-gerakan lokal, bahkan inisiatif ini terjadi dimulai dari para perempuan yang mencemaskan alam yang semakin tergerus.
[Redaktur : Andri Festana]