Perempuan di desa memiliki pengetahuan lokal yang kaya mengenai sumber daya alam di sekitar mereka.
Mereka adalah penjaga lingkungan dan pengetahuan tradisional mereka tentang keanekaragaman hayati dapat berkontribusi pada pemeliharaan dan perlindungan lingkungan.
Baca Juga:
Gagal Diselundupkan, Bakamla Lepas 60 Ribu Bibit Lobster di Kepulauan Seribu
Namun, terdapat hambatan sosial, budaya, dan ekonomi yang membatasi partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
Salah satu tantangan terbesar adalah akses terbatas perempuan terhadap sumber daya alam, termasuk tanah.
Disisi lain, perempuan dan lingkungan acap sekali dianggap sebagai property sebagaimana yang sering diberlakukan oleh sistem yang menganut patriarki.
Baca Juga:
Mr Chen dan Karyawan PT DPM di Dairi Berbagi Paket Buka Puasa
Akibat dari sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan manusia, posisi perempuan cenderung ditempatkan diposisi hanya untuk rumah tangga namun tanpa disadari mereka adalah bagian dari pelopor ketahanan pangan bagi keluarganya.
Oleh sebab itu ketika kerusakan lingkungan terjadi, tentu saja perempuanlah yang paling banyak merasakan dampaknya.
"Kecenderungan eksploitasi yang berakar dari sistem patriarki membuat lingkungan semakin rusak akibat dari konflik agraria membuat produksi pertanian berkurang, sumber mata air rusak, identitas budaya hilang dan kualitas kesehatan keluarga memburuk, sehingga pentingnya membangun hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam, dengan tegasnya manusia tidak berada diluar alam melainkan merupakan bagian integral dari ekosistem yang kompleks," kata Mareta Sari, salah satu narasumber dari Jatam Kaltim dalam talkshow.